Aku ingat lagi. Malam 1 Ramdhan
2009.
Aku kembali. Untuk kali yang
kedua.
Dekorasi ringkas. Palitan variasi
rona terang pada setiap panel sudut. Pencahayaan yang sedikit kelam
membibitkan halwa romantis. Kolaborasi asap rokok dan shisha yang mengisi
komposisi udara jelas kelihatan di bawah remang simbahan neon malap. Susunan
set meja dan kusyen empuk dengan sentuhan Jepun. Piring-piring hitam mengisi ruangan
kosong panel-panel dinding di sana-sini. Juga beberapa bingkai gambar dan
poster bersaiz gergasi Bintang-bintang Batu 60-an membawa ke 90-an sebagai pelengkap tema.
“Give me a few minutes,” bilang
aku pendek.
Lelaki itu mengangguk kecil. Aku
paling. Aku pejamkan mata. Aku tarik nafas dalam-dalam. Dan aku hembuskan
perlahan seraya membuka kembali mata. Dengan sebuah gitar akustik bercap
Yamaha, aku melangkah longlai ke arah pentas kecil terperosok di sudut kiri
kafe. Dengan cermat, aku labuhkan punggung pada bangku tinggi.
“Hye, evening,” sambil melaraskan pendiri mikrofon pada ketinggian selesa.
“Can you hear me clearly back
there?” tanya aku sopan pada seorang lelaki yang paling hujung. Dibalas dengan
kalimah ‘yeah’ dan julangan tinggi ibu jari tangan kanan ke udara.
“Good. I’m Jonnie. And tonight, I
would like to dedicate this song to the love of my life.”
“Is she here tonight?” potong
seorang gadis comel yang duduk menghadap betul-betul di hadapan aku dengan
senyum menyeringai.
“No darlin’. Sadly, she’s long
gone,” dengan sedikit keluhan yang jelas kedengaran pada pendengaran aku
seorang.
Dengan fikiran yang kosong lagi
lompong, aku perhati ke dalam tiap-tiap pasang mata individu yang memenuhi
ruang kelam kafe dan aku sambung, “I used to promise her that someday, I’m
gonna learn to play guitar. And I’m gonna sing for her.”
Aku jeda senafas panjang. “But tonight. I’m gonna sing this song, ‘More Than Words’ for a girl among you guys that
resembles her so much,” dengan pasang mata aku yang mula beralih daripada seisi
audiens kepada seorang puspa bermata bundar yang ayu duduk bersimpuh di meja paling dekat dengan
pentas kecil.
Aku pejamkan mata. Aku dapatkan
feel Nuno Bettencourt ketika persembahan live. Dan aku mula memetik
natural tali-temali gitar akustik bercap
Yamaha sebagai mukadimah lagu. Bait-bait tulus lagu itu mula terungkap sendiri menemani sepi melodi lagu yang terhasil dari petikan tadi.
Saying I love
you
Is not the words I want to hear from you
It's not that I want you
Not to say, but if you only knew
Is not the words I want to hear from you
It's not that I want you
Not to say, but if you only knew
Kaki kanan aku menghentak
perlahan muka pentas kecil mengulang tempo menggantikan petikan jari Gary
Cherone. Pasang mata aku berkitar memerhati pengunjung-pengunjung kafe yang
mula tenggelam dalam keasyikan lirik dan komposisi lagu.
How easy it would be
to show me how you feel
More than words is all you have to do to make it real
Then you wouldn't have to say that you love me
'Cause I'd already know
More than words is all you have to do to make it real
Then you wouldn't have to say that you love me
'Cause I'd already know
Dengan teknik falsetto, aku
arahkan pandangan pada puspa bermata bundar itu. Dalam pelukan momen,
aku tersenyum sepi lagi sendiri di tengah keramaian muda-mudi berlibur girang.
What would you do if my heart was torn in two
More than words to show you feel
That your love for me is real
What would you say if I took those words away
Then you couldn't make things new
Just by saying I love you
More than words
Aku perhati ada audiens yang segan-segan berlagu pada frekuensi suara yang rendah. Di sisi belakang kafe, terlihat
tiga, empat orang mula mengawang-awang ke kiri ke kanan pemetik api di udara. Aku
sela nafas.
Now that I’ve tried to talk to you and make you understand
All you have to do is close your eyes
And just reach out your hands and touch me
Hold me close don’t ever let me go
More than words is all I ever needed you to show
Then you wouldn’t have to say that you love me
‘Cause I’d already know
Dengan mata terpejam, aku
tumpukan sepenuh penghayatan ke dalam rangkap terakhir ini. Momen-momen itu
mula bersilih ganti di fikiran semacam menyaksi tayangan gambar hitam putih di
dalam panggung wayang yang dihuni kosong kecuali seorang aku.
What would you do if my heart was torn in two
More than words to show you feel
That your love for me is real
What would you say if I took those words away
Then you couldn't make things new
Just by saying I love you
More than words
Usai petikan yang terakhir, aku
buka mata kembali perlahan-lahan. Aku anggukkan kepala sedikit sebagai tanda
penghargaan kepada seiisi audiens. Dengan tepukan gemuruh bergema mengisi
ruangan kafe, aku bangkit dari bangku tinggi. Aku berlalu dan menuju ke arah
seorang lelaki bergaya rambut tocang Samurai yang duduk rapat betul-betul
bersebelahan dengan puspa bermata bundar tadi. Aku suakan gitar akustik bercap
Yamaha. Dalam kebingungan, lelaki bergaya rambut tocang Samurai itu gapai perlahan.
Belum sempat lelaki bergaya rambut tocang Samurai itu membuah
bicara, aku paling dan berlalu longlai mendapatkan lelaki yang menunggu aku di
luar sedari tadi.
“Your time is up,” peringat
lelaki itu.
“I know. Thanks,” aku angguk
kecil. Akur.
“No. Thank you,” sengih lelaki
itu serupa karekter Joker lakonan Heath Ledger di dalam filem Dark Knight.
“Nice disguise by the way,” puji
lelaki itu merujuk kepada gaya rambut ala-ala primadona Farrah Fawcett di dalam siri drama Charlie’s Angels, potongan jambang serupa Jimmy Page dari kugiran Led Zeppelin,
Baju Melayu hitam dengan lipatan lengan kemas paras siku, jeans Levi’s
Premium rona pudar dengan sedikit koyakan pada kedua-dua sisi lutut dan tali
pinggang kulit yang dipasang padan dengan but Doc Mart low cut.
“Let’s go,”
monolog aku.
Lelaki itu tempatkan tangan
kirinya pada pundak kanan aku. Dari kejauhan, aku memerhati dengan penuh
kelembutan puspa bermata bundar itu yang sedang bergebang mesra dengan lelaki bergaya rambut
tocang Samurai tadi. “Lucky you,” bisik aku dengan kulum
senyum nipis sebelum aku dan lelaki itu secara mengejut lesap menghilang di sebalik ambians
sendu malam.
Demi sebuah momen. Aku pateri
janji dengan satu-satunya Penjejak Masa dalam peradaban duniya. Dajjal
al-Massih.
Tuesday, 1 January, 2013, 3:15 PM
No comments:
Post a Comment